Pertanyaan :
Apakah yang menjadi landasan Shalat Tarawih 4 rakaat satu salam dalam sholat tarawih 11 rakaat ?
Jawaban:
Sebelum menjawab substansi pertanyaan
saudara, ada baiknya lebih dahulu diberikan penjelasan singkat tentang
sebab-sebab perbedaan pendapat ulama, antara lain sebagai berikut:
- Karena perbedaan makna lafadz
- Karena masalah pemahaman hadis (nash)
- Karena berbenturan suatu dalil dengan pegangan pokok antara seorang dengan lainnya.
- Masalah Ta‘arudl dan Tarjih
- Perbedaan pandang terhadap dalil yang dipandang sahih oleh sebahagian ahli dan tidak sahih menurut sebahagian lainnya.
Kemudian berikut ini kami sebutkan
lebih dahulu beberapa hadis yang berhubungan dengan shalat malam
(qiyamul-lail/qiyamu Ramadan), terjemahnya, serta
penjelasanpenjelasannya, sebelum sampai pada kesimpulannya.
- Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرَغَ
مِنْ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ اْلعَتَمَةَ
إِلَى اْلفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ مَا بَيْنَ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ. [رواه مسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah
Rasulullah saw shalat pada waktu antara Isya’, dan Subuh, – yang dikenal
orang dengan istilah ‘atamah”, sebanyak sebelas raka’at, yaitu beliau
salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau shalat witir satu
raka’at.”[HR. Muslim]
- Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلاَثََ
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ وَلاَ يَجْلِسُ فِي شَيْئٍ
مِنْهُنَّ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah
Rasulullah saw shalat malam tiga belas raka’at, beliau berwitir lima
raka’at dan beliau tidak duduk antara raka’at-raka’at itu melainkan pada
akhirnya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
- Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
عَنْ عَائِشَةَ حِيْنَ سُئِلَتْ عَنْ
صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ
قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ
فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي ثَلاَثاً [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah,
ketika ia ditanya mengenai shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan.
Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat di bulan
Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat
empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya.
Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya
bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.”
[HR. al-Bukhari dan Muslim]
Penjelasan:
Hadis no. 1, menunjukkan bahwa Nabi saw
pernah melakukan shalat malam dengan kaifiyah dua raka’at lima kali
salam dan witir satu raka’at. Hadis no. 2, menunjukkan bahwa Nabi saw
shalat delapan raka’at, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam.
Adapun hadis no. 3, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat malam di bulan
Ramadhan delapan raka’at dengan dua kali salam, artinya tiap empat
raka’at sekali salam, kemudian dilanjutkan shalat witir tiga raka’at dan
salam.
Mungkin timbul pertanyaan, dari mana
kita memperoleh pengertian sesudah shalat empat raka’at lalu salam?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama dari
perkataan كَيْفَ (bagaimana) yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang
kaifiyah shalat qiyamu Ramadlan disamping juga menerangkan jumlah
raka’atnya. Kedua, kaifiyah itu diperoleh dari lafadz يُصَلِّي
أَرْبَعًا. Lafadz itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara dzahir
(ظاهر); yakni menyambung empat raka’at dengan sekali salam, dan bisa
mengandung makna bercerai (الفصل); yakni menceraikan atau memisahkan dua
raka’at salam – dua raka’at salam. Namun makna bersambung itu yang
lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ
اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam ash-Shan’ani dalam kitab
Subulus-Salam (Juz 2: 13).
Hadis Aisyah ini menerangkan dalam satu
kaifiyah shalat malam Nabi saw, disamping kaifiyah yang lainnya. Hadis
Aisyah ini harus diamalkan secara utuh baik raka’at dan kaifiyahnya.
Hadis Aisyah ini tidak ditakhshish oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى
مَثْنَى (shalat malam harus dua raka’at, dua raka’at), dan hadis
tersebut tidak mengandung pengertian “Hashar” seperti dikatakan oleh
Muhammad bin Nashar. Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim mengatakan,
shalat malam dengan empat raka’at boleh sekali salam (تسلمة ولحدة)
dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat raka’at
menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawi tersebut
dikomentari oleh Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح”
sebagai berikut:
وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ
الشَّافِعِيَّةُ: “يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا
صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ”، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي
اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي
وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ
النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ
اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ
يُفْتِي بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]
Artinya: “Dan sungguh benar ucapan Imam
an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama
Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat
raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab
fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis
al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu
serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan
hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar
ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir
(dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.”
[Shalatut-Tarawih, hal 17-18]
Sebagaimana diketahui hadis Aisyah itu
yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding
dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyamu Ramadlan. Sehubungan hal itu
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi menulis di dalam kitab Zadul Ma’ad:
وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ
وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ
بِاللَّيْلِ، فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –
حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُوَ
اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمَرْعَاتِهَا ذَلِكَ، وَلِكَوْنِهَا
أَعْلَمُ اْلخُلُقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا
شَاهِدُهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا (مَيْمُونَةٌ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا). [زاد المعاد: 1: 244]
Artinya: “Dan apabila berbeda riwayat
lbnu Abbas dengan riwayat Aisyah dalam sesuatu hal menyangkut shalat
malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat Aisyah r.a.
Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibnu Abbas, itulah yang
jelas, karena Aisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu, Aisyah
orang yang lebih mengerti tentang shalat malam Nabi saw, sedangkan Ibnu
Abbas hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah
r.a.). [Zadul Ma’ad, 1: 244]
Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukani,
bahwa kebanyakan ulama mengatakan, shalat tarawih dua raka’at satu salam
hanya sekedar menunjukkan segi afdlal (utama) saja, bukan memberi
faedah Hashar (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw,
bahwa beliau melakukan shalat malam empat raka’at dengan satu salam.
Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian/
menunjuk (irsyad) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat
dua raka’at dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat raka’at
sekali salam.
Lebih jauh disebutkan dalam kitab
Nailul-Authar, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai
mana yang lebih utama (afdlal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4
raka’at menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan
bersambung (الوصل = empat raka’at dengan satu), sedangkan Imam
Muhammad bin Nashar menyatakan sama saja afdlalnya antara menceraikan
(الفصل) dan bersambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw
berwitir lima raka’at, beliau tidak duduk kecuali pada raka’at yang
kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung
(الوصل). [Nailul-Authar: 2: 38-39]
Mengenai pendapat/ fatwa Syeikh Abdul
Aziz bin Baz dalam Majmu‘ Fatawanya dan Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah
Fauzan dalam bukunya الملخص الفقهي yang mengatakan shalat empat raka’at
sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru
menentangkan sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan
pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan shalat empat
raka’at dengan satu salam adalah ngawur, mereka itu sangat terpengaruh
dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut
seperti disebutkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy (Kalau ingin
memperluas uraian ini merujuklah kepada kitab-kitab shalat Tarawih
karangan al-Albaniy itu).
Menurut hemat kami Syeikh Abdul Aziz bin
Bas, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab, sedang dalam bidang fiqih sangat dipengaruhi
oleh paham Ahmad bin Hambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk
Saudi Arabia.
Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Shalat hal 514; begitu
juga dalam “Koleksi Hadis-Hadis Hukum” Juz 5: hal 130), begitu pula A.
Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya
“Pelajaran Shalat, hal 283-284 kedua beliau itu berpendapat bahwa shalat
tarawih/qiyamu Ramadlan empat raka’at sekali salam adalah sah, itu
salah satu kaifiyah shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.
Sebagai informasi tambahan kami kutip di
sini apa yang ditulis Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (syarah
al-Muhazzab, juz 5: 55), al-Qadli Husein berpendapat bahwa apabila
shalat tarawih dilakukan dua puluh raka’at, maka tidak boleh/ tidak sah
dikerjakan, empat raka’at sekali salam, tetapi harus dua raka’at sekali
salam, bukan yang dimaksud oleh beliau itu shalat tarawih delapan
raka’at.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kaji ulang kami
sebagaimana uraian/ penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis
tentang shalat tarawih empat raka’at sekali salam tidak bermasalah, baik
dari sisi matan maupun sanadnya. Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Majalah Suara
Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah raka’at shalat tarawih empat
raka’at salam dan dua raka’at salam merupakan tanawu’ dalam beribadah,
sehingga keduanya dapat diamalkan.
Wallahu ‘alain bish shawab.
sumber : Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar